Selasa, 03 November 2015

UCAPAN ADALAH KUALITAS DIRI

UCAPAN ADALAH KUALITAS DIRI
.
siapapun pasti bisa menilai seseorang dari caranya berbicara..
menurut para cerdik pandai ada beberapa penilaian yg bisa kita ketahui sbb:
.
** pertama orang yang berkualitas tinggi.
Kalau dia berbicara, isinya sarat dengan hikmah, ide, gagasan, solusi, ilmu, dan sebagainya.
Orang seperti ini pembicaraannya bermanfaat bagi dirinya sendiri, juga bagi orang lain yang mendengarkan. Jika dia diajak berbicara sekalipun ngobrol, ujungnya adalah manfaat.
Ketika disodorkan padanya keluhan tentang
# kegagalan , dengan tangkas dia menjawab, “jatuh atau gagal adalah peluang bagi kita untuk mengevaluasi kekurangan yang ada. Dengan gagal siapa tahu kita akan lebih kreatif? Kita bisa mencari celah-celah peluang inovasi. Pokoknya jangan putus asa, semangat terus!”
Siapa saja yang biasa berbicara tentang solusi, gagasan, hikmah, dan hal-hal serupa itu, insya Allah dia adalah manusia yang berkualitas.
.
**kedua, orang yang biasa-biasa saja.
Ciri orang seperti ini adalah selalu sibuk menceritakan peristiwa. Melihat ada orang kecelakaan , dia berkomentar ribut sekali. Seolah dirinya yang tertabrak
ketika bertemu pejabat terus dicerita-ceritakan tiada henti. Pokoknya ada apa saja dikomentari.
Dia seperti juru bicara yang wajib berkomentar kapan pun ada peristiwa.
Tidak peduli peristiwa layak dia komentari atau tidak.
Ini tipe manusia tukang cerita peristiwa. Prinsip yang dia pegang: “Pokoknya bunyi!”
sebenarnya Tidak ada masalah dengan peristiwa.
hanya maksudnya Jika melalui berbagai peristiwa itu semua kita bisa memungut hikmah yang sebaik-baiknya, insya Allah akan bermanfaat. Namun, jika dari peristiwa-peristiwa itu tidak ada yang dituju kecuali menunggu sampai mulut lelah sendiri, ini tentu kesia-siaan.
.
**ketiga, orang rendahan.
Cirinya kalau berbicara isinya hanya mengeluh, mencela, atau menghina. Apa saja bisa jadi bahan keluhan. “Aduuuh ini perut sakiit , kenapa jadi sakit begini. Hari ini kayak-nya banyak masalah, nih!” Ketika kepadanya disodorkan makanan, jurus keluhannya segera berhamburan. “Makanan kok tidak menarik selera begini? Coba kalau pas anget dan ada sambel , tentu lebih nikmat. Aduuuh, kepedesan ini, Terus saja makanan dikeluhkan, walau kenyataannya semua akhirnya habis juga.
.
Mengeluh dan mencela, itu hari-hari orang rendahan. Seolah tiada hari berlalu tanpa keluh-kesah. Ketika lama gk turun hujan, hujan segera dicaci. “Ohh, hujan kemana saja di mana-mana debu panas banget males mau pergi panasnya itu lho..sadubillahhh
Ketika di jalanan macet, mengeluh. Ketika ada lampu merah, mengeluh. Ketika ada polisi, mengeluh. Ketika ada orang meminta-minta, mengeluh. Dan seterusnya.
Seolah tiada hari berlalu tanpa keluh-kesah. Alangkah menderita hidup orang yang dipenjara oleh keluh-kesah. Dia tidak bisa membedakan mana nikmat dan mana musibah.
Seluruh lembar harinya dimaknai sebagai kesusahan, sehingga layak dikeluhkan.
.
**keempat, orang yang dangkal. Adalah mereka yang semua pembicaraannya tidak keluar dari menyebut-nyebut kehebatan dirinya, jasa-jasanya, kebaikan-kebaikannya.
Padahal hidup ini adalah pengabdian untuk Allah. Mengapa harus kita membanggakan apa yang Allah titipkan pada kita?
Ada orang pakai cincin segera berkomentar, “Oh, itu sih mirip cincin saya cumab.cincin saya bermata biru ” Ada orang beli mobil baru, “Nah, ini seperti yang saya punya dulu itu.” dsb...
Orang-orang dangkal ini akan terus berbicara tiada henti. Tak lupa dia selalu menyelipkan kata-kata kesombongan dan membanggakan diri.
Orang-orang dangkal tiada bosan mengekspose diri, menyebut jasa, kebaikan, dan prestasinya.
Dia selalu ingin tampak menonjol dan mendominasi. Jika ada orang lain yang secara wajar tampak lebih baik, hatinya teriris-iris, tidak rela, dan sangat berharap orang itu akan segera celaka.
inilah ilmu gelas kosong. Gelas kosong, maunya diisi terus. Orang yang kosong dari harga diri, inginnya minta dihargai terus.
.
Kita harus berhati-hati dalam berbicara. Harus kita sadari bahwa berbicara itu dibatasi oleh etika-etika. Hendaklah kita ada di atas rel yang benar. Jangan sampai kita jatuh dalam kubangan yg kita buat sendiri .
Dalam berbicara kita jangan bergunjing (ghibah). Bergunjing adalah perbuatan yang ringan, bahkan bagi sebagian orang mungkin dianggap mengasyikkan. Namun, jika dilakukan dengan sengaja, apalagi dengan kesadaran penuh dan tekad menggebu, bergunjing bisa menjadi dosa.
Kita tidak bisa memaksa orang lain berbuat sesuai keinginan kita. Tapi kita bisa memaksa diri kita untuk melakukan yang terbaik menyikapi sikap orang lain.
Banyak bicara tidak selalu buruk, yang buruk adalah banyak berbicara kebatilan.
Boleh-boleh saja kita produktif berbicara, tapi harus proporsional. Jika kita berbicara hal yang benar dan memang harus banyak, tentu kita lakukan hal itu. Pembicaraan seringkali bergeser dari rel kebaikan ketika kita tidak proporsional.
.
Semua orang harus menjaga lidahnya. Di sini tetap dibutuhkan proses belajar, berlatih, dan terus berjuang agar mutu kata-kata kita semakin meningkat.
Alangkah ironi jika orang-orang yang terdidik dan. dlm lingkup terhormat di masyarakat sekitarnya. namun tidak menjaga lisan.
Satu langkah konkret untuk memulai upaya menjaga lisan adalah dengan mulai mengurangi jumlah kata-kata. Makin sedikit bicara, makin tipis peluang kesalahan.
Sebaliknya makin banyak bicara, peluang tergelincir lidah semakin lebar.
Jika lidah kita telah meluncur tanpa kendali, kehormatan kita seketika akan runtuh..
.
Ucapan itu keluar dari lisan hendaknya bagai untaian mutiara yang sarat dengan kebenaran, berharga, bermutu, dan membawa maslahat bagi siapa pun yang mendengarkannya. Amin.
.
***tiap hari adalah belajar dan belajar..
catatan: ketika saya mengucapkan kata
# sadubillah saya tdk bermaksud merendahkan siapapun,itu hanya kebiasaan saya ketika kaget mlihat kenyataan...
dgn kerendahan hati saya minta maaf.
.
lsm,041115

Tidak ada komentar:

Posting Komentar